Sembari mau belajar (baru mau) gue juga mau cerita dulu nih. Minggu depan ALHAMDULILLAH UAS gue tinggal bersisa TIGA mata kuliah lagi. Tapi begonya adalah ke TIGA mata kuliah itu adalah mata kuliah paling mengerikan bagi gue maupun beberapa anak geo lainnya, atau bahkan anak MIPA -_-. Semuanya adalah mata kuliah WAJIB FAKULTAS (plaaaaak!). Mau tau nama-nama matkul tersebut?? oke, yang pertama itu ada Aljabar Linier Elementer atau biasa dipanggil ALIN (agak chinese ya -_-). Sebenernya sih ALIN ini lumayan nyenengin, apalagi pas bab awal-awal, menurut gue pribadi sih permasalahan cuma ada di ketelitian. Kalo untuk pemahaman materi insya Allah udah pada nyambung. Tapi makin ke sini level ALIN kok agak nyeremin juga. Walaupun gue sempet dapet keajaiban pas UTS, tapi gue tetep nervous banget buat menghadapi UAS ALIN. Satu-satunya hal yang bisa menghibur gue dari matkul ini adalah konon katanya dosen gue ini adalah dosen ter-baik hati se-antero departemen tetangga (alias Matematika). Semoga saja semua rumor tersebut benar adanya.
Mata kuliah yang kedua adalah FISDAS I (ada season dua-nya loh :'|) alias FISIKA DASAR. Errr, jujur aja dulu pas SMA gue lumayan doyan ama nih pelajaran, faktor guru kali yak. Tapi buat sekarang??? TIDAAAAAAAKKKK, FISDAS gue absurd parah. Catetan gue kosong melompong, sekalinya ada malah gambar-gambar gak jelas yang gue bikin disaat dosen nerangin. And you know what? Kelas gue isinya 80 orang lebih!!!! dan lokasinya ada di LANTAI EMPAT gedung B dengan keadaan TANPA LIFT, AC angin doang udah kaya AC commuter line, kipas angin yang nyala cuma dua biji dari empat biji, meja buatan tahun kapan auk dah yang jelas masih tertera tulisan HARGA: Rp 32.500, LCDnya gradakan banyak bintik-bintik ungu. Bisa bayangin apa yang terjadi??? Yang belajar cuma mahasiswa barisan pertama doang, barisan belakang udah pada gak jelas wujudnya. Bukannya gue suka ngeluh, tapi ini bener-bener parah menurut gue. Sedih gue kalo masuk nih kelas ckckck.
Berlanjut ke matkul berikutnya, KIMDAS I (lagi, bakal ada season II-nya loh). Ini gak kalah absurdnya. Kelasnya kegedean segede auditorium, ACnya dingin, efeknya adalah 15 menit setelah perkuliahan dimulai kepala udah nempel di meja gara-gara ngantuk (dasar mahasiswa gak tau diri) hahahahaha. Beginilah mahasiswa baru yang kebanyakan ngeluh dan pemalas.
Kapan ya gue bisa berubah hmmm. Kapan gue bakal ngewujud-in semua impian gue pas baru ospek. Pengen lulus cepet, pengen IP bagus, pengen banyak prestasi, dan pengeeeeen banget buat orang tua seneng huhuhu :'(. Ya Allah jauhin rasa malas dari diriku ya Allah....
Sunday, December 23, 2012
Sunday, December 9, 2012
Pemberlakuan Tarif Pelajar dan Mahasiswa Pada Sarana Transportasi Publik Transjakarta dan Commuter Line Dalam Rangka Mengurangi Kemacetan
Kemacetan merupakan salah satu kendala terbesar yang
dialami oleh provinsi DKI Jakarta. Kondisi tersebut terjadi karena berbagai
faktor. Diantaranya, perilaku buruk para pengguna jalan yang tidak taat akan
tata tertib berlalu lintas, serta posisi strategis ibukota negara yang secara
tidak langsung menjadikan DKI Jakarta sebagai pusat pemerintahan, pusat
perniagaan, bahkan pusat pendidikan. Berbagai upaya telah direncanakan dan
dilaksanakan oleh pemerintah kota demi mengatasi permasalahan kemacetan. Salah
satu kebijakan yang cukup kontroversial adalah pemberlakuan jam masuk sekolah
menjadi lebih awal, yaitu pukul 6.30 WIB dari sebelumnya pukul 7.00 WIB yang
mulai dilaksanakan pada tanggal 5 Januari tahun 2009. Secara tidak langsung,
hal tersebut telah membuktikan bahwa keberadaan pelajar mampu mempengaruhi
kehidupan warga ibukota. Menurut survei pada tahun 2008, aktivitas perjalanan
pelajar dari rumah ke sekolah, memiliki komposisi 30% dari semua aktivitas
perjalanan di DKI Jakarta. Namun, salah satu fakta yang menarik adalah hasil
survei dari Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta pada
bulan November 2007 hingga bulan Mei 2008 yang menunjukkan bahwa 94,06% dari
perjalanan yang dilakukan oleh pelajar tersebut ialah menggunakan sarana
transportasi umum. Hal tersebut tentu saja dapat menjadi sebuah evaluasi bagi
pemerintah kota, bahwa pelajar di provinsi DKI Jakarta memiliki ketergantungan
akan sarana transportasi publik. Banyak alasan yang muncul mengapa para pelajar
tersebut lebih memilih menggunakan kendaraan umum, diantaranya, lebih murah,
ketersediaan kendaraan umum yang cukup banyak, tidak merepotkan orang tua,
serta mampu menjangkau lokasi sekolah yang biasanya terdapat di lingkungan
perumahan. Walaupun demikian, banyak pula kekurangan yang dimiliki oleh sarana
transportasi publik tersebut yang membuat sebagian kecil pelajar merasa enggan
menggunakannya. Beberapa kekurangan tersebut antara lain, waktu ngetem kendaraan umum yang terlalu lama
seringkali membuat siswa-siswi terlambat, kurang nyamannya sarana dan prasarana
yang tersedia, kurangnya rasa aman sebab marak terjadi kejahatan dan
kriminalitas di kendaraan publik, serta kurang dihargainya para pelajar oleh
supir dan kondektur kendaraan umum sebab membayar dengan biaya yang lebih murah
dibanding penumpang lain, sehingga sopir dan kondektur cenderung lebih
mendahulukan penumpang lain. Hal-hal tersebutlah yang akan dibahas lebih lanjut
dalam esai ini.
Tingginya minat pelajar-pelajar di provinsi DKI
Jakarta untuk memanfaatkan keberadaan sarana dan prasarana transportasi publik
nyatanya belum mendapat apresiasi yang mendalam dari pemerintah kota. Memang,
beragam kebijakan telah dikeluarkan, salah satu kebijakan yang populer adalah
proyek Bis Sekolah. Namun, kenyataannya keberadaan Bis Sekolah itu hanya mampu
dijangkau oleh pelajar dari beberapa sekolah disegelintir wilayah saja,
sehingga sifatnya tidak menyeluruh dan tidak bisa dirasakan oleh sebagian besar
pelajar lainnya. Dengan kata lain, kendaraan umum yang biasa masih dibutuhkan
oleh pelajar. Bukti lain yang menyatakan pelajar belum mendapat pelayanan
transportasi publik secara maksimal adalah tidak tersedianya tarif pelajar dan
mahasiswa pada Transjakarta dan Commuter
Line. Tarif pelajar sejauh ini memang telah diberlakukan sejak lama oleh
beberapa penyedia layanan transportasi umum, seperti bis dalam kota, angkutan
kota, dan mikrolet. Tarif pelajar biasanya 25%-50% lebih murah dibanding tarif
biasa. Seperti contoh, tarif bis Metro Mini semua jurusan baik dekat maupun
jauh untuk penumpang biasa sebesar Rp 2.000,- sedangkan untuk pelajar sebesar
Rp 1.000,-. Contoh lainnya, tarif Mikrolet untuk penumpang biasa sebesar Rp
2.000,- sedangkan tarif untuk pelajar sebesar Rp 1.500,-. Tentu saja,
pemberlakuan tarif pelajar tersebut sangat besar dirasakan manfaatnya oleh
pelajar, terlebih khusus lagi bagi para orang tua. Namun, keadaan berbeda
berlaku pada Transjakarta dan Commuter
Line. Kedua sarana transportasi tersebut ternyata tidak memberlakukan tarif
pelajar. Padahal kedua sarana dan prasarana transportasi publik tersebut
mendapatkan perhatian yang cukup besar dari pemerintah kota, bahkan mampu
menjadi ikon kota DKI Jakarta. Dilihat dari keberadaannya, kedua sarana
transportasi massal tersebut juga melintasi berbagai lokasi strategis yang
didalamnya juga terdapat berbagai sekolah dan universitas. Secara tidak
langsung, hal tersebut mengimplikasikan bahwa keberadaan mereka juga dibutuhkan
oleh pelajar dan mahasiswa. Sesuai keadaan yang ada di lapangan, dari semua
koridor yang ada setidaknya beberapa halte Transjakarta bahkan menggunakan nama
institusi pendidikan, antara lain, halte SMKN 57 Jakarta, Lembaga Pendidikan
Ilmu Bahasa Asing LIA Pramuka, Yayasan Pendidikan Islam Al-Azhar Kebayoran
Baru, Universitas Indonesia Salemba, Universitas Negeri Jakarta, dan lain-lain.
Jalur Transjakarta atau yang akrab disebut busway
juga melewati setidaknya ratusan institusi pendidikan, baik negeri maupun
swasta. Semua fakta tersebut kembali memperkuat dan meyakinkan pemerintah,
bahwa Transjakarta membutuhkan tarif pelajar dan mahasiswa. Bisa dilihat, tentu
akan banyak kemacetan yang dapat berkurang jika semua pelajar dari berbagai
institusi pendidikan tersebut mau menggunakan kendaraan umum, khususnya
Transjakarta. Hal serupa juga terjadi dengan Commuter Line, dua stasiun menggunakan nama institusi pendidikan,
yaitu, Universitas Pancasila dan Universitas Indonesia. Jumlah mahasiswa dari
dua institusi itu saja sekurang-kurangnya sudah mencapai angka belasan ribu.
Belum lagi banyaknya pelajar yang sekolahnya terdapat di sekitar
stasiun-stasiun Commuter Line, tidak
hanya di DKI Jakarta, bahkan mereka yang bersekolah di wilayah penyangga DKI
Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Oleh sebab itu, sudah saatnya pemerintah kota
memberikan perhatian khusus kepada para penumpang yang masih berstatus pelajar
dan mahasiswa. Biaya sebesar Rp 3.500,- untuk Transjakarta dan Rp 8.000,- untuk
Commuter Line tentu sangat
memberatkan, khususnya para orang tua sebagai penanggung biaya, mengingat
mobilitas pelajar dan mahasiswa tersebut sangat tinggi, bahkan bisa berlangsung
selama 6 hari dalam sepekan. Dibutuhkan jalan keluar yang sesuai untuk itu
semua. Salah satunya ialah dengan memberlakukan tarif pelajar dan mahasiswa.
Sebagai pembeda mereka dengan masyarakat umum biasa, pelajar dan mahasiswa
dapat menunjukkan kartu pelajar dan mahasiswa mereka kepada petugas. Sehingga
penyedia layanan transportasi umum tidak rugi karena pemanfaatan pihak-pihak yang
tidak bertanggung jawab. Sebuah hal yang sederhana, namun belum mampu
diwujudkan oleh perusahaan penyedia transportasi. Padahal dengan pemberlakuan
hal tersebut, itu akan mampu mengurangi kemacetan yang disebabkan oleh
keegoisan warga Jakarta yang lebih suka menggunakan kendaraan pribadi. Selain
itu, dibutuhkan pula komitmen dari perusahaan transportasi untuk mampu melayani
dan menyesuaikan kebutuhan para pelajar dan mahasiswa tersebut agar nantinya
kebijakan ini tidak merugikan satu pihak.
Salman Al Farisi,
Mahasiswa Geografi, FMIPA, Universitas Indonesia
Penjabaran Kondisi Geografi Fisik dan Sosial Ibukota Negara Pantai Gading, Yamoussoukro.
Sebagian
besar dari kita pasti sudah pernah mendengar nama negara Pantai Gading. Ya,
Pantai Gading adalah sebuah negara yang terdapat di Afrika Barat, yang
berbatasan secara langsung dengan negara Liberia, Guinea, Mali, Burkina Faso,
dan Ghana di sebelah barat, utara, dan timur, serta dengan Teluk Guinea di
sebelah selatan. Pada tulisan kali ini, saya tidak akan membahas lebih lanjut
segala sesuatu yang berhubungan dengan negara Pantai Gading. Melainkan, saya
akan mengupas lebih lanjut mengenai ibukota negara dari Pantai Gading. Pantai
Gading merupakan satu dari beberapa negara yang ada di dunia ini yang mnemiliki
2 ibukota negara. Ibukota tersebut adalah Yamoussoukro dan Abidjan. Namun,
walau secara de facto Abidjan telah diakui sebagai ibukota negara, Yamoussoukro
tetaplah ibukota resmi dari negara Pantai Gading. Yamoussoukro sendiri terletak
pada titik koordinat 06o 49 dan 06 o 47 Lintang Utara
serta 05o 16 dan 05o 16 Bujur Barat. Dengan cakupan
wilayah seluas 3600 kilometer persegi. Sebagai ibukota negara, Yamoussoukro
merupakan pusat politik dan administratif negara Pantai Gading. Yamoussoukro
juga dikenal sebagai kota kelahiran dari presiden pertama Pantai Gading, Felix
Houphouët-Boigny. Secara geografis, Kota Yamoussoukro dibatasi oleh Tiébissou
dibagian utara, Oumé dibagian selatan, Dimbokro dibagian timur, serta Sinfra dan
Bouaflé dibagian barat.
Secara
keseluruhan, keadaan permukaan bumi di Yamoussoukro terdiri atas relief dataran
berbentuk seperti piring. Dimana dapat dibedakan menjadi beberapa jenis
tingkatan, yaitu 200 dan 500 meter. Begitu pula dengan kemiringan wilayahnya
yang berkisar antara 10 sampai 30 meter. Tanaman di wilayah Yamoussoukro
didominasi oleh bidang Guinéen. Dimana ciri dari vegetasi ini adalah ditandai
dengan daerah berupa pra-hutan sabana yang ditandai dengan padang rumput yang
terhampar luas. Lalu terdapat pohon-pohon kecil serta semak belukar didalamnya.
Laju
urbanisasi di Yamoussoukro terbilang cepat. Hal tersebut ditunjukkan oleh
keadaan karakter Yamoussoukro saat ini yang moderen. Dimana kota Yamoussoukro
memiliki peran penting sebagai pusat administrasi serta wilayah komersil di
Pantai Gading. Selain itu, nampak pula geliat pembangunan berbagai gedung,
jalan-jalan, dan perumahan. Hal itu jelas saja terjadi, sebab laju urbanisasi
Yamoussoukro sudah menembus angka 55 %.
Yamassoukro
sendiri kembali dibagi menjadi 169 wilayah dengan perkiraan jumlah penduduk
sekitar 300.000 jiwa. Dimana sebanyak 52.562 jiwa diantaranya merupakan kaum
pendatang. Para kaum pendatang tersebut berasal dari berbagai etnis yang ada di
afrika. Beberapa diantaranya adalah Mali sejumlah 13.202 jiwa, Guinéennes
sejumlah 3,278 jiwa, Béninoises sebanyak 2,940 jiwa, Sénégalaises sebanyak
1.759 jiwa, Nigeria sebanyak 1,456 jiwa, Ghanéennes sebanyak 667 jiwa,
Togolaise sebanyak 435 jiwa, Pribumi Niger sebanyak 1.759 jiwa, dan Mauritania
sebanyak 435 jiwa.
Sumber:
http://www.yamoussoukro.org
Wednesday, December 5, 2012
Sekilas info~~
pengalaman seorang wanita di luar negeri yang 'mencoba' menggunakan hijab -from tumblr-
I went to the mall, and a little girl called me a terrorist.
My name is Ela. I am seventeen years old. I am not Muslim, but my friend told me about her friend being discriminated against for wearing a hijab. So I decided to see the discrimination firsthand to get a better understanding of what Muslim women
I went to the mall, and a little girl called me a terrorist.
My name is Ela. I am seventeen years old. I am not Muslim, but my friend told me about her friend being discriminated against for wearing a hijab. So I decided to see the discrimination firsthand to get a better understanding of what Muslim women
go through.
My friend and I pinned scarves around our heads, and then we went to the mall. Normally, vendors try to get us to buy things and ask us to sample a snack. Clerks usually ask us if we need help, tell us about sales, and smile at us. Not today. People, including vendors, clerks, and other shoppers, wouldn’t look at us. They didn’t talk to us. They acted like we didn’t exist. They didn’t want to be caught staring at us, so they didn’t look at all.
And then, in one store, a girl (who looked about four years old) asked her mom if my friend and I were terrorists. She wasn’t trying to be mean or anything. I don’t even think she could have grasped the idea of prejudice. However, her mother’s response is one I can never forgive or forget. The mother hushed her child, glared at me, and then took her daughter by the hand and led her out of the store.
All that because I put a scarf on my head. Just like that, a mother taught her little girl that being Muslim was evil. It didn’t matter that I was a nice person. All that mattered was that I looked different. That little girl may grow up and teach her children the same thing.
This experiment gave me a huge wakeup call. It lasted for only a few hours, so I can’t even begin to imagine how much prejudice Muslim girls go through every day. It reminded me of something that many people know but rarely remember: the women in hijabs are people, just like all those women out there who aren’t Muslim.
My friend and I pinned scarves around our heads, and then we went to the mall. Normally, vendors try to get us to buy things and ask us to sample a snack. Clerks usually ask us if we need help, tell us about sales, and smile at us. Not today. People, including vendors, clerks, and other shoppers, wouldn’t look at us. They didn’t talk to us. They acted like we didn’t exist. They didn’t want to be caught staring at us, so they didn’t look at all.
And then, in one store, a girl (who looked about four years old) asked her mom if my friend and I were terrorists. She wasn’t trying to be mean or anything. I don’t even think she could have grasped the idea of prejudice. However, her mother’s response is one I can never forgive or forget. The mother hushed her child, glared at me, and then took her daughter by the hand and led her out of the store.
All that because I put a scarf on my head. Just like that, a mother taught her little girl that being Muslim was evil. It didn’t matter that I was a nice person. All that mattered was that I looked different. That little girl may grow up and teach her children the same thing.
This experiment gave me a huge wakeup call. It lasted for only a few hours, so I can’t even begin to imagine how much prejudice Muslim girls go through every day. It reminded me of something that many people know but rarely remember: the women in hijabs are people, just like all those women out there who aren’t Muslim.
People of Tumblr, please help me spread this message. Treat Muslims, Jews, Christians, Buddhists, Hindus, Pagans, Taoists, etc., exactly the way you want to be treated, regardless of what they’re wearing or not wearing, no exceptions. Reblog this. Tell your friends. I don’t know that the world will ever totally wipe out prejudice, but we can try, one blog at a time.
Subscribe to:
Posts (Atom)