Saturday, July 27, 2013

Kebijakan Baru di PPDB Online Provinsi DKI Jakarta

Ada yang berbeda pada Penerimaan Peserta Didik Baru Online (PPDB Online) Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2013 ini. Jika pada tahun-tahun sebelumnya para calon peserta didik bebas memilih sekolah mana yang diminatinya, tidak peduli darimana asal sekolahnya, asalkan masih berada di wilayah DKI Jakarta, maka pada tahun ini hal tersebut tidak bisa lagi dengan mudah dilakukan. Karena pada tahun ini PPDB Online DKI Jakarta telah melaksanakan kebijakan baru, yaitu, sistem zona, untuk calon peserta didik yang ingin melanjutkan jenjang pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) dan Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN). Sebagai informasi, sistem baru ini tidak berlaku bagi calon peserta didik yang ingin melanjutkan ke Sekolah Menegah Kejuruan Negeri (SMKN). Penerapan sistem zona ini didasarkan pada Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 926 Tahun 2013 tentang Penetapan Zona Sekolah dalam Rangka Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru. Dengan sistem zona, calon peserta didik hanya boleh memilih sekolah berdasarkan zona tempat tinggalnya. Zona-zona tersebut dibagi berdasarkan kecamatan yang ada di DKI Jakarta.
            Sistem zona sebenarnya tidak dilakukan secara menyeluruh pada PPDB Online tahun ini. Sesuai peraturan yang tertera pada website http://jakarta.siap-psb.com/, sistem zona (selanjutnya disebut jalur lokal) ini memiliki porsi sebesar 45% dari daya tampung sekolah. Sedangkan 50% dari daya tampung sekolah masih menggunakan sistem yang sama pada tahun-tahun sebelumnya (selanjutnya disebut jalur umum), sisanya ditujukan untuk jalur prestasi. Jadi, pada tahun ini, PPDB Online dibagi menjadi dua jalur, yaitu, umum dan lokal.
Peserta didik menjadi korban         
Jika kita menelisik lebih jauh, salah satu alasan pemerintah menerapkan sistem zona ini adalah sebagai salah satu upaya untuk menekan angka kemacetan di Ibukota. Seperti yang kita ketahui, belum meratanya kualitas sekolah di DKI Jakarta telah membuat masyarakat rela mengeluarkan tenaga dan biaya lebih untuk menyekolahkan anak-anak mereka di berbagai sekolah favorit, sehingga jarak sekolah yang jauh pun sering diabaikan. Wajar memang, pemerintah sendirilah yang awalnya mengkotak-kotakkan sekolah. Sekolah dibagi menjadi berbagai kelas layaknya sebuah hotel, mulai yang berstatus standar internasional, standar nasional, reguler, unggulan, dan lain-lain. Memang saat ini sudah tidak ada lagi sekolah RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional), namun “image” yang telah terbentuk sebelumnya tentu tidak akan mudah dilupakan dengan begitu saja oleh masyarakat.
Setelah sebelumnya “mengorbankan” para peserta didik dengan aturan jam masuk sekolah pada pukul 6.30 wib, kini pemerintah kembali menjadikan aset-aset berharganya sebagai kelinci percobaan dengan kebijakan sistem zona ini. Ya, tujuannya memang baik. Namun, haruskah anak-anak kita lagi yang dijadikan sasarannya?
Kurangnya sosialisasi menyebabkan banyaknya peserta didik yang kebingungan dan tidak mengerti bagaimana sistem ini bekerja. Kekecewaan juga timbul dari mereka yang sudah belajar ekstra keras demi memasuki sekolah impian yang jauh dari tempat tinggalnya. Kesempatan mereka semakin diperkecil dengan adanya sistem zona ini. Sudah bukan sekadar cerita lagi, banyak ditemui kasus pada beberapa sekolah favorit dimana murid-muridnya berasal dari daerah tempat tinggal yang jauh dari lokasi sekolah, bahkan beberapa diantaranya harus bertempat tinggal di rumah kost maupun mengontrak rumah. Ini semua adalah potret kegagalan pemerintah dalam menyediakan pendidikan berkualitas yang merata. Jika semua sekolah memiliki kualitas yang baik, tentu para orang tua tidak perlu lagi susah-susah mencarikan sekolah favorit yang jauh dari rumah untuk anak-anak mereka. Kondisi inilah yang seharusnya lebih diperhatikan oleh pemerintah, khususnya dinas pendidikan Provinsi DKI Jakarta.
Dampak sistem zona
Salah satu fakta yang mengejutkan dapat terlihat dari pelaksanaan PPDB Online Provinsi DKI Jakarta pada tahun ini. Terbaginya jalur masuk menjadi dua, yaitu jalur umum dan jalur lokal, ternyata menimbulkan perbedaan input nilai yang signifikan dari kedua jalur tersebut. Nilai yang dibutuhkan untuk lolos di sekolah tujuan pada jalur umum menjadi sangat tinggi. Sedangkan, nilai yang dibutuhkan untuk dapat lolos pada sekolah tujuan pada jalur lokal (memberlakukan sistem zona) cenderung lebih rendah. Hal itu dapat kita lihat pada data hasil seleksi yang telah tersedia. Misalnya, untuk lulus seleksi masuk melalui jalur umum di SMPN 115 dibutuhkan rata-rata nilai ujian nasional minimal 9,663, sedangkan untuk masuk melalui jalur lokal, nilai yang dibutuhkan cukup hanya dengan rata-rata 9,133. Contoh yang lebih ekstrim dapat dilihat melalui hasil seleksi yang terjadi di SMPN 40. Nilai minimal rata-rata ujian nasional yang dibutuhkan untuk lulus seleksi pada jalur umum ialah sebesar 8,950, sedangkan nilai rata-rata ujian nasional yang dibutuhkan untuk lulus seleksi jalur lokal minimal sebesar 6,100 saja. Benar-benar fakta yang sangat mencengangkan. Hal tersebut tidak hanya terjadi pada seleksi masuk SMP, melainkan juga SMA. Misal, pada SMAN 8, nilai terendah yang lolos seleksi pada jalur umum adalah 9,388, sedangkan untuk jalur lokal hanya cukup dengan nilai rata-rata 8,838. Begitu pula di SMAN 3, nilai rata-rata terendah pada jalur umum ialah 8,738, sedangkan pada jalur lokal hanya 7,500.
            Sangat jelas terlihat betapa besarnya jarak perbedaan antara nilai masuk melalui jalur umum dengan jalur reguler. Hal tersebut tentu memberikan keuntungan bagi para calon peserta didik yang tinggal di wilayah yang dikelilingi oleh berbagai sekolah favorit. Sangat bertentangan dengan mereka yang tinggal di wilayah yang hanya dikelilingi oleh beberapa sekolah biasa. Jelas hal ini akan menimbulkan kecemburuan antar calon peserta didik. Dampak yang lebih besar, dikhawatirkan nantinya akan timbul banyak permasalahan yang disebabkan oleh terlalu jauhnya jarak nilai masuk antara jalur umum dan jalur lokal, seperti, sulitnya murid-murid dari jalur lokal untuk beradaptasi dalam mengikuti kegiatan belajar dengan murid yang berasal dari jalur umum yang nantinya malah semakin memperjelas perbedaan tersebut serta adanya perlakuan yang berbeda dari guru antara murid yang masuk dari jalur umum dan jalur lokal yang justru menimbulkan sistem lain seperti kelas unggulan ataupun kelas bilingual untuk murid yang kemampuannya dianggap lebih baik.

            Bagaimana pun juga, usaha pemerintah kali ini harus dihargai. Kita sebagai masyarakat diminta harus lebih aktif dalam mengawasi dan mengawal pelaksanaannya, agar kelak anak-anak kita tidak kembali menjadi korban dari kebijakan baru pemerintah. Harapan penulis, semoga sistem zona ini berhasil dalam menurunkan tingkat kemacetan dan mampu meningkatkan kualitas pendidikan.

Salman Al Farisi
Mahasiswa Geografi UI