Kemacetan merupakan salah satu kendala terbesar yang
dialami oleh provinsi DKI Jakarta. Kondisi tersebut terjadi karena berbagai
faktor. Diantaranya, perilaku buruk para pengguna jalan yang tidak taat akan
tata tertib berlalu lintas, serta posisi strategis ibukota negara yang secara
tidak langsung menjadikan DKI Jakarta sebagai pusat pemerintahan, pusat
perniagaan, bahkan pusat pendidikan. Berbagai upaya telah direncanakan dan
dilaksanakan oleh pemerintah kota demi mengatasi permasalahan kemacetan. Salah
satu kebijakan yang cukup kontroversial adalah pemberlakuan jam masuk sekolah
menjadi lebih awal, yaitu pukul 6.30 WIB dari sebelumnya pukul 7.00 WIB yang
mulai dilaksanakan pada tanggal 5 Januari tahun 2009. Secara tidak langsung,
hal tersebut telah membuktikan bahwa keberadaan pelajar mampu mempengaruhi
kehidupan warga ibukota. Menurut survei pada tahun 2008, aktivitas perjalanan
pelajar dari rumah ke sekolah, memiliki komposisi 30% dari semua aktivitas
perjalanan di DKI Jakarta. Namun, salah satu fakta yang menarik adalah hasil
survei dari Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta pada
bulan November 2007 hingga bulan Mei 2008 yang menunjukkan bahwa 94,06% dari
perjalanan yang dilakukan oleh pelajar tersebut ialah menggunakan sarana
transportasi umum. Hal tersebut tentu saja dapat menjadi sebuah evaluasi bagi
pemerintah kota, bahwa pelajar di provinsi DKI Jakarta memiliki ketergantungan
akan sarana transportasi publik. Banyak alasan yang muncul mengapa para pelajar
tersebut lebih memilih menggunakan kendaraan umum, diantaranya, lebih murah,
ketersediaan kendaraan umum yang cukup banyak, tidak merepotkan orang tua,
serta mampu menjangkau lokasi sekolah yang biasanya terdapat di lingkungan
perumahan. Walaupun demikian, banyak pula kekurangan yang dimiliki oleh sarana
transportasi publik tersebut yang membuat sebagian kecil pelajar merasa enggan
menggunakannya. Beberapa kekurangan tersebut antara lain, waktu ngetem kendaraan umum yang terlalu lama
seringkali membuat siswa-siswi terlambat, kurang nyamannya sarana dan prasarana
yang tersedia, kurangnya rasa aman sebab marak terjadi kejahatan dan
kriminalitas di kendaraan publik, serta kurang dihargainya para pelajar oleh
supir dan kondektur kendaraan umum sebab membayar dengan biaya yang lebih murah
dibanding penumpang lain, sehingga sopir dan kondektur cenderung lebih
mendahulukan penumpang lain. Hal-hal tersebutlah yang akan dibahas lebih lanjut
dalam esai ini.
Tingginya minat pelajar-pelajar di provinsi DKI
Jakarta untuk memanfaatkan keberadaan sarana dan prasarana transportasi publik
nyatanya belum mendapat apresiasi yang mendalam dari pemerintah kota. Memang,
beragam kebijakan telah dikeluarkan, salah satu kebijakan yang populer adalah
proyek Bis Sekolah. Namun, kenyataannya keberadaan Bis Sekolah itu hanya mampu
dijangkau oleh pelajar dari beberapa sekolah disegelintir wilayah saja,
sehingga sifatnya tidak menyeluruh dan tidak bisa dirasakan oleh sebagian besar
pelajar lainnya. Dengan kata lain, kendaraan umum yang biasa masih dibutuhkan
oleh pelajar. Bukti lain yang menyatakan pelajar belum mendapat pelayanan
transportasi publik secara maksimal adalah tidak tersedianya tarif pelajar dan
mahasiswa pada Transjakarta dan Commuter
Line. Tarif pelajar sejauh ini memang telah diberlakukan sejak lama oleh
beberapa penyedia layanan transportasi umum, seperti bis dalam kota, angkutan
kota, dan mikrolet. Tarif pelajar biasanya 25%-50% lebih murah dibanding tarif
biasa. Seperti contoh, tarif bis Metro Mini semua jurusan baik dekat maupun
jauh untuk penumpang biasa sebesar Rp 2.000,- sedangkan untuk pelajar sebesar
Rp 1.000,-. Contoh lainnya, tarif Mikrolet untuk penumpang biasa sebesar Rp
2.000,- sedangkan tarif untuk pelajar sebesar Rp 1.500,-. Tentu saja,
pemberlakuan tarif pelajar tersebut sangat besar dirasakan manfaatnya oleh
pelajar, terlebih khusus lagi bagi para orang tua. Namun, keadaan berbeda
berlaku pada Transjakarta dan Commuter
Line. Kedua sarana transportasi tersebut ternyata tidak memberlakukan tarif
pelajar. Padahal kedua sarana dan prasarana transportasi publik tersebut
mendapatkan perhatian yang cukup besar dari pemerintah kota, bahkan mampu
menjadi ikon kota DKI Jakarta. Dilihat dari keberadaannya, kedua sarana
transportasi massal tersebut juga melintasi berbagai lokasi strategis yang
didalamnya juga terdapat berbagai sekolah dan universitas. Secara tidak
langsung, hal tersebut mengimplikasikan bahwa keberadaan mereka juga dibutuhkan
oleh pelajar dan mahasiswa. Sesuai keadaan yang ada di lapangan, dari semua
koridor yang ada setidaknya beberapa halte Transjakarta bahkan menggunakan nama
institusi pendidikan, antara lain, halte SMKN 57 Jakarta, Lembaga Pendidikan
Ilmu Bahasa Asing LIA Pramuka, Yayasan Pendidikan Islam Al-Azhar Kebayoran
Baru, Universitas Indonesia Salemba, Universitas Negeri Jakarta, dan lain-lain.
Jalur Transjakarta atau yang akrab disebut busway
juga melewati setidaknya ratusan institusi pendidikan, baik negeri maupun
swasta. Semua fakta tersebut kembali memperkuat dan meyakinkan pemerintah,
bahwa Transjakarta membutuhkan tarif pelajar dan mahasiswa. Bisa dilihat, tentu
akan banyak kemacetan yang dapat berkurang jika semua pelajar dari berbagai
institusi pendidikan tersebut mau menggunakan kendaraan umum, khususnya
Transjakarta. Hal serupa juga terjadi dengan Commuter Line, dua stasiun menggunakan nama institusi pendidikan,
yaitu, Universitas Pancasila dan Universitas Indonesia. Jumlah mahasiswa dari
dua institusi itu saja sekurang-kurangnya sudah mencapai angka belasan ribu.
Belum lagi banyaknya pelajar yang sekolahnya terdapat di sekitar
stasiun-stasiun Commuter Line, tidak
hanya di DKI Jakarta, bahkan mereka yang bersekolah di wilayah penyangga DKI
Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Oleh sebab itu, sudah saatnya pemerintah kota
memberikan perhatian khusus kepada para penumpang yang masih berstatus pelajar
dan mahasiswa. Biaya sebesar Rp 3.500,- untuk Transjakarta dan Rp 8.000,- untuk
Commuter Line tentu sangat
memberatkan, khususnya para orang tua sebagai penanggung biaya, mengingat
mobilitas pelajar dan mahasiswa tersebut sangat tinggi, bahkan bisa berlangsung
selama 6 hari dalam sepekan. Dibutuhkan jalan keluar yang sesuai untuk itu
semua. Salah satunya ialah dengan memberlakukan tarif pelajar dan mahasiswa.
Sebagai pembeda mereka dengan masyarakat umum biasa, pelajar dan mahasiswa
dapat menunjukkan kartu pelajar dan mahasiswa mereka kepada petugas. Sehingga
penyedia layanan transportasi umum tidak rugi karena pemanfaatan pihak-pihak yang
tidak bertanggung jawab. Sebuah hal yang sederhana, namun belum mampu
diwujudkan oleh perusahaan penyedia transportasi. Padahal dengan pemberlakuan
hal tersebut, itu akan mampu mengurangi kemacetan yang disebabkan oleh
keegoisan warga Jakarta yang lebih suka menggunakan kendaraan pribadi. Selain
itu, dibutuhkan pula komitmen dari perusahaan transportasi untuk mampu melayani
dan menyesuaikan kebutuhan para pelajar dan mahasiswa tersebut agar nantinya
kebijakan ini tidak merugikan satu pihak.
Salman Al Farisi,
Mahasiswa Geografi, FMIPA, Universitas Indonesia
No comments:
Post a Comment