Sunday, December 9, 2012

Pemberlakuan Tarif Pelajar dan Mahasiswa Pada Sarana Transportasi Publik Transjakarta dan Commuter Line Dalam Rangka Mengurangi Kemacetan


Kemacetan merupakan salah satu kendala terbesar yang dialami oleh provinsi DKI Jakarta. Kondisi tersebut terjadi karena berbagai faktor. Diantaranya, perilaku buruk para pengguna jalan yang tidak taat akan tata tertib berlalu lintas, serta posisi strategis ibukota negara yang secara tidak langsung menjadikan DKI Jakarta sebagai pusat pemerintahan, pusat perniagaan, bahkan pusat pendidikan. Berbagai upaya telah direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah kota demi mengatasi permasalahan kemacetan. Salah satu kebijakan yang cukup kontroversial adalah pemberlakuan jam masuk sekolah menjadi lebih awal, yaitu pukul 6.30 WIB dari sebelumnya pukul 7.00 WIB yang mulai dilaksanakan pada tanggal 5 Januari tahun 2009. Secara tidak langsung, hal tersebut telah membuktikan bahwa keberadaan pelajar mampu mempengaruhi kehidupan warga ibukota. Menurut survei pada tahun 2008, aktivitas perjalanan pelajar dari rumah ke sekolah, memiliki komposisi 30% dari semua aktivitas perjalanan di DKI Jakarta. Namun, salah satu fakta yang menarik adalah hasil survei dari Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta pada bulan November 2007 hingga bulan Mei 2008 yang menunjukkan bahwa 94,06% dari perjalanan yang dilakukan oleh pelajar tersebut ialah menggunakan sarana transportasi umum. Hal tersebut tentu saja dapat menjadi sebuah evaluasi bagi pemerintah kota, bahwa pelajar di provinsi DKI Jakarta memiliki ketergantungan akan sarana transportasi publik. Banyak alasan yang muncul mengapa para pelajar tersebut lebih memilih menggunakan kendaraan umum, diantaranya, lebih murah, ketersediaan kendaraan umum yang cukup banyak, tidak merepotkan orang tua, serta mampu menjangkau lokasi sekolah yang biasanya terdapat di lingkungan perumahan. Walaupun demikian, banyak pula kekurangan yang dimiliki oleh sarana transportasi publik tersebut yang membuat sebagian kecil pelajar merasa enggan menggunakannya. Beberapa kekurangan tersebut antara lain, waktu ngetem kendaraan umum yang terlalu lama seringkali membuat siswa-siswi terlambat, kurang nyamannya sarana dan prasarana yang tersedia, kurangnya rasa aman sebab marak terjadi kejahatan dan kriminalitas di kendaraan publik, serta kurang dihargainya para pelajar oleh supir dan kondektur kendaraan umum sebab membayar dengan biaya yang lebih murah dibanding penumpang lain, sehingga sopir dan kondektur cenderung lebih mendahulukan penumpang lain. Hal-hal tersebutlah yang akan dibahas lebih lanjut dalam esai ini.
Tingginya minat pelajar-pelajar di provinsi DKI Jakarta untuk memanfaatkan keberadaan sarana dan prasarana transportasi publik nyatanya belum mendapat apresiasi yang mendalam dari pemerintah kota. Memang, beragam kebijakan telah dikeluarkan, salah satu kebijakan yang populer adalah proyek Bis Sekolah. Namun, kenyataannya keberadaan Bis Sekolah itu hanya mampu dijangkau oleh pelajar dari beberapa sekolah disegelintir wilayah saja, sehingga sifatnya tidak menyeluruh dan tidak bisa dirasakan oleh sebagian besar pelajar lainnya. Dengan kata lain, kendaraan umum yang biasa masih dibutuhkan oleh pelajar. Bukti lain yang menyatakan pelajar belum mendapat pelayanan transportasi publik secara maksimal adalah tidak tersedianya tarif pelajar dan mahasiswa pada Transjakarta dan Commuter Line. Tarif pelajar sejauh ini memang telah diberlakukan sejak lama oleh beberapa penyedia layanan transportasi umum, seperti bis dalam kota, angkutan kota, dan mikrolet. Tarif pelajar biasanya 25%-50% lebih murah dibanding tarif biasa. Seperti contoh, tarif bis Metro Mini semua jurusan baik dekat maupun jauh untuk penumpang biasa sebesar Rp 2.000,- sedangkan untuk pelajar sebesar Rp 1.000,-. Contoh lainnya, tarif Mikrolet untuk penumpang biasa sebesar Rp 2.000,- sedangkan tarif untuk pelajar sebesar Rp 1.500,-. Tentu saja, pemberlakuan tarif pelajar tersebut sangat besar dirasakan manfaatnya oleh pelajar, terlebih khusus lagi bagi para orang tua. Namun, keadaan berbeda berlaku pada Transjakarta dan Commuter Line. Kedua sarana transportasi tersebut ternyata tidak memberlakukan tarif pelajar. Padahal kedua sarana dan prasarana transportasi publik tersebut mendapatkan perhatian yang cukup besar dari pemerintah kota, bahkan mampu menjadi ikon kota DKI Jakarta. Dilihat dari keberadaannya, kedua sarana transportasi massal tersebut juga melintasi berbagai lokasi strategis yang didalamnya juga terdapat berbagai sekolah dan universitas. Secara tidak langsung, hal tersebut mengimplikasikan bahwa keberadaan mereka juga dibutuhkan oleh pelajar dan mahasiswa. Sesuai keadaan yang ada di lapangan, dari semua koridor yang ada setidaknya beberapa halte Transjakarta bahkan menggunakan nama institusi pendidikan, antara lain, halte SMKN 57 Jakarta, Lembaga Pendidikan Ilmu Bahasa Asing LIA Pramuka, Yayasan Pendidikan Islam Al-Azhar Kebayoran Baru, Universitas Indonesia Salemba, Universitas Negeri Jakarta, dan lain-lain. Jalur Transjakarta atau yang akrab disebut busway juga melewati setidaknya ratusan institusi pendidikan, baik negeri maupun swasta. Semua fakta tersebut kembali memperkuat dan meyakinkan pemerintah, bahwa Transjakarta membutuhkan tarif pelajar dan mahasiswa. Bisa dilihat, tentu akan banyak kemacetan yang dapat berkurang jika semua pelajar dari berbagai institusi pendidikan tersebut mau menggunakan kendaraan umum, khususnya Transjakarta. Hal serupa juga terjadi dengan Commuter Line, dua stasiun menggunakan nama institusi pendidikan, yaitu, Universitas Pancasila dan Universitas Indonesia. Jumlah mahasiswa dari dua institusi itu saja sekurang-kurangnya sudah mencapai angka belasan ribu. Belum lagi banyaknya pelajar yang sekolahnya terdapat di sekitar stasiun-stasiun Commuter Line, tidak hanya di DKI Jakarta, bahkan mereka yang bersekolah di wilayah penyangga DKI Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Oleh sebab itu, sudah saatnya pemerintah kota memberikan perhatian khusus kepada para penumpang yang masih berstatus pelajar dan mahasiswa. Biaya sebesar Rp 3.500,- untuk Transjakarta dan Rp 8.000,- untuk Commuter Line tentu sangat memberatkan, khususnya para orang tua sebagai penanggung biaya, mengingat mobilitas pelajar dan mahasiswa tersebut sangat tinggi, bahkan bisa berlangsung selama 6 hari dalam sepekan. Dibutuhkan jalan keluar yang sesuai untuk itu semua. Salah satunya ialah dengan memberlakukan tarif pelajar dan mahasiswa. Sebagai pembeda mereka dengan masyarakat umum biasa, pelajar dan mahasiswa dapat menunjukkan kartu pelajar dan mahasiswa mereka kepada petugas. Sehingga penyedia layanan transportasi umum tidak rugi karena pemanfaatan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Sebuah hal yang sederhana, namun belum mampu diwujudkan oleh perusahaan penyedia transportasi. Padahal dengan pemberlakuan hal tersebut, itu akan mampu mengurangi kemacetan yang disebabkan oleh keegoisan warga Jakarta yang lebih suka menggunakan kendaraan pribadi. Selain itu, dibutuhkan pula komitmen dari perusahaan transportasi untuk mampu melayani dan menyesuaikan kebutuhan para pelajar dan mahasiswa tersebut agar nantinya kebijakan ini tidak merugikan satu pihak.

Salman Al Farisi,
Mahasiswa Geografi, FMIPA, Universitas Indonesia

No comments: