Monday, December 22, 2014

Perubahan Struktur Ritel di DKI Jakarta

Tugas Dinamika Spasial Wilayah Urban
Nama    : Salman Alfarisi
NPM      : 1206216140

Perubahan Struktur Ritel di DKI Jakarta

Beberapa tahun belakangan ini, struktur perdagangan ritel di Provinsi DKI Jakarta mengalami perubahan yang signifikan. Kita ketahui bahwa pola struktur ritel perkotaan dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, pola struktur ritel yang memang disebabkan oleh mekanisme pasar, sehingga seringkali disebut sebagai proses yang “alami”. Kedua, pola struktur ritel yang memang dilakukan berdasarkan perencanaan, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta. Perubahan pada pola struktur perdagangan ritel ini tidak terlepas dari dua faktor pendorong yang paling mempengaruhi, yaitu, ekonomi dan sosial. Namun, dalam artikel ini, pembahasan akan lebih ditekankan pada sisi permintaan oleh konsumen. Apa-apa yang dijelaskan dalam artikel ini sebenarnya didasarkan pada materi yang terletak dalam buku Urban Geography: A Global Perspective karya Michael Pacione. Lebih tepatnya pada Bab 12 mengenai Ritel Perkotaan. Walaupun kasus-kasus yang disampaikan dalam buku tersebut terjadi di negara-negara barat, tetapi terdapat kesamaan dengan apa yang dialami oleh DKI Jakarta saat ini. Inilah hal-hal yang menyebabkan terjadinya perubahan struktur perdagangan ritel di Kota Jakarta.

1. Perubahan Lokasi Permukiman
Seiring dengan berjalannya waktu, semakin hari semakin banyak penduduk yang tinggal di pinggiran wilayah Kota Jakarta. Beberapa tahun silam, Kota Depok hanyalah sebuah kota kecil dan sepi di pinggiran Jakarta. Begitu pula dengan wilayah-wilayah lainnya seperti Serpong dan Bintaro, saat itu kedua wilayah tersebut masih sangat sepi karena masih sedikitnya jumlah penduduk. Namun, lama kelamaan jumlah penduduk di wilayah-wilayah pinggir kota terus meningkat. Ditambah lagi dengan semakin banyaknya warga yang awalnya tinggal di tengah kota memutuskan untuk pindah ke pinggiran kota, selain biaya hidup yang lebih murah, harga tanah juga masih murah sehingga mereka bisa membeli tanah yang lebih besar dari rumah yang ada di Jakarta. Harga pajak tanah yang semakin mencekik juga membuat sebagian masyarakat dengan ekonomi pas-pasan harus segera terusir dari rumahnya yang ada di tengah kota. Banyak pula masyarakat kaya di tengah kota yang memutuskan pindah ke pinggiran karena di wilayah suburban mereka bisa membeli tanah yang lebih luas dengan lingkungan yang lebih asri. Hal ini terus terjadi, lama kelamaan penduduk yang tinggal di sekitar wilayah kota pun makin meningkat. Masyarakat membutuhkan pusat-pusat perbelanjaan ritel yang baru. Satu persatu mulai muncul berbagai pusat perdagangan ritel besar di wilayah-wilayah pinggiran kota. Jika awalnya usaha-usaha ritel besar tersebut hanya membuka tokonya di pusat kota, kini mereka sudah berani membukanya di dekat kantung-kantung permukiman di pinggiran ibukota Jakarta.


2. Perubahan Sikap Konsumen dan Ekspektasi
Pada masa sekarang ini, berbelanja bukan lagi sebagai sebuah ritual demi memenuhi kebutuhan hidup semata. Berbelanja menjadi sebuah hiburan baru yang menyenangkan bagi setiap orang. Beberapa tahun yang lalu, orang-orang berbelanja di pusat perbelanjaan tradisional seperti pasar-pasar tradisional. Pasar tersebut sangat identik dengan suasana yang bau, kotor, becek, penuh dengan permainan harga, dan sebagainya. Selain itu, apabila konsumen berbelanja ke pasar tradisional, barang-barang yang mereka butuhkan terdapat di kios-kios yang berbeda. Apabila ingin membeli sayur harus berbelanja ke kios sayur, begitu juga dengan bumbu masakan, daging, kue-kue, dan sebagainya. Setiap mengunjungi kios konsumen harus mengulang lagi proses tawar-menawar dengan pedagang. Walaupun hal ini menarik bagi sebagian orang, namun sebagian besar mayarakat perkotaan seperti Jakarta tidak terlalu menyukainya. Masyarakat kota memiliki waktu yang terbatas, mereka ingin memanfaatkan waktu yang dimiliki dengan sebaik-baiknya. Inilah yang menjadikan pusat-pusat perbelanjaan modern seperti mall dan supermarket begitu digandrungi oleh warga Jakarta. Mereka bekerja dengan sangat keras, mereka ingin suasana berbelanja yang menyenangkan. Jika harus ke pasar tradisional, mereka akan menghadapi masalah becek, bau, dan kotor. Mereka juga harus menghabiskan waktu mereka untuk berkunjung ke setiap kios dan melakukan transaksi tawar-menawar, belum lagi banyaknya ancaman tindak perilaku kriminal dan sebagainya.
Pusat perbelanjaan modern dinilai lebih menarik bagi masyarakat kota. Dengan waktu yang sedikit, mereka ingin kegiatan berbelanja menjadi sebuah hiburan yang menyenangkan. Disambut dengan arsitektur bangunan yang megah dan unik, lahan parkir yang luas tersedia, pilihan belanja yang banyak dengan harga yang kompetitif, kenyamanan, dan lain sebagainya. Di pusat perbelanjaan modern, segala sesuatunya telah tersusun dengan rapih, sehingga konsumen tidak perlu lagi kebingungan mencari-cari barang yang dibutuhkannya. Selain itu, dalam sebuah supermarket di pusat perbelanjaan modern semua barang sudah tersedia. Mereka tidak harus mencarinya lagi ke toko-toko lain. Harga sudah terpampang jelas sehingga konsumen tidak merasa dirugikan dengan permainan harga pada proses tawar-menawar. Selain itu, pemasaran produk pada pusat perbelanjaan modern juga jauh lebih menarik. Mereka seringkali melakukan berbagai acara dan kegiatan, memberikan potongan harga, hingga memberikan berbagai hadiah kepada konsumen.


3. Pertumbuhan Pekerja Perempuan
Sebagian besar dari kita pasti masih ingat betapa seringnya kita disuruh Ibu untuk membeli sesuatu di warung. Bisa dibilang setiap hari kita harus membeli berbagai kebutuhan di warung, entah untuk membeli gula, telur, kecap, dan masih banyak lagi. Bahkan dalam satu hari bisa saja kita ataupun Ibu kita bolak-balik ke warung lebih dari satu kali. Pada masa itu kaum Ibu sebagian besar tinggal di rumah menjadi Ibu rumah tangga. Apabila ingin berbelanja di warung, cenderung tanpa perencanaan panjang dan lebih pada spontanitas barang apa yang memang sedang dibutuhkan. Hal-hal semacam ini pada masa seperti sekarang perlahan-lahan mulai berkurang. Sebab kaum perempuan, termasuk para ibu kini bekerja pada berbagai sektor, bukan lagi menjadi ibu rumah tangga secara seutuhnya. Pertumbuhan angka perempuan yang bekerja berpengaruh juga terhadap struktur ritel yang ada di perkotaan, termasuk di DKI Jakarta. Hal ini diimplikasikan pada perilaku konsumen. Secara umum terdapat dua perubahan yang signifikan akibat meningkatnya pekerja perempuan. Pertama, pendapatan keluarga yang meningkat. Kedua, waktu berbelanja yang dimiliki yang semakin berkurang.
Dahulu, uang belanja isteri sepenuhnya digantungkan pada gaji suami. Kebutuhan yang semakin bertambah dengan uang yang jumlahnya cenderung konstan membuat isteri harus memutar otak dalam berbelanja kebutuhan sehari-hari. Para isteri juga berusaha menahan hasrat untuk berbelanja barang-barang yang sifatnya bukan barang pokok seperti kosmetik, produk fesyen, jajanan, dan sebagainya. Isteri menempatkan kebutuhan keluarga sebagai sebuah prioritas dan mengorbankan keinginan pribadinya. Namun, kini hal tersebut mulai berubah. Para isteri juga bebas bekerja dan memiliki jenjang karirnya sendiri. Bahkan tidak jarang gaji yang dimiliki isteri lebih tinggi daripada gaji yang diberikan suami. Alhasil, pemasukan keluarga jadi meningkat dua kali lipat. Dengan uang yang semakin banyak, daya beli sebuah keluarga semakin meningkat pula. Kini para isteri bisa memanjakan dirinya dengan uang yang ia miliki. Dengan prinsip “uangmu adalah uangku, uangku adalah uangku” para isteri memiliki keleluasaan yang lebih dalam membelanjakan uang. Ia bisa bebas membeli kosmetik, pakaian, tas, sepatu, dan masih banyak lagi. Mereka juga bisa menggunakan uangnya untuk lebih sering berekreasi dengan keluarga atau sekadar makan di restoran.

Uang yang semakin banyak berarti bekerja dengan lebih keras lagi. Ini pula yang dihadapi oleh perempuan Jakarta saat ini. Mereka bekerja dari pagi, dan baru pulang ketika hari sudah gelap. Lihat saja bus-bus Transjakarta ataupun Commuterline. Walaupun adzan subuh baru saja usai, perempuan-perempuan pekerja ini sudah duduk manis ataupun bergelantungan di berbagai sarana transportasi. Begitu pula pada sore hari. Akibatnya, sampai di rumah perempuan sudah terlalu lelah dan lebih memilih untuk beristirahat. Lalu, kapan mereka belanja? Sebagian dari mereka berbelanja ketika pulang bekerja. Tidak heran jika kita seringkali melihat para perempuan pekerja menenteng kantung plastik dari berbagai pusat perbelanjaan saat di bus kota maupun kereta. Sebagiannya lagi lebih memilih untuk berbelanja secara mingguan maupun bulanan pada hari minggu bersama suami dan anak-anak mereka. Itu pula yang menjadi salah satu faktor mengapa pusat perbelanjaan modern lebih diminati. Sebab para konsumen bukan hanya ingin berbelanja, namun juga ingin berekreasi bersama keluarga.

4. Berubahnya Tingkat Daya Beli
Masih berhubungan dengan poin-poin yang dijelaskan sebelumnya. Peningkatan usaha perdagangan ritel dengan skala besar terus berlangsung. Hal ini tidak terlepas dari kenyamanan dan banyaknya keuntungan yang didapatkan konsumen jika berbelanja pada usaha-usaha ritel modern. Selain itu, bukan rahasia umum lagi jika harga-harga di usaha-usaha perdagangan ritel modern seringkali lebih murah daripada harga di usaha ritel tradisional seperti pasar tradisional dan warung. Harga-harga yang lebih murah tersebut tidak terlepas dari sistem market share yang dilakukan oleh pusat ritel modern. Sebut saja dua raksasa penguasa perdagangan ritel modern di Indonesia, Alfamart dan Indomaret. Dengan toko yang jumlahnya ribuan tersebar di seluruh pelosok negara, kedua minimarket ini melakukan kontrak kerjasama yang besar dengan berbagai perusahaan produsen kebutuhan sehari-hari seperti makanan dan minuman. Hasilnya, modal yang dikeluarkan pun dapat ditekan karena ia bisa membeli barang dagangan dengan harga yang jauh lebih murah dari produsen. Dengan perputaran uang yang juga besar dan cepat, menjual barang dagangan mereka dengan harga yang sedikit murah pun tidak jadi masalah. Masyarakat kota semakin mengidolakan usaha perdagangan ritel modern ini. Pasar tradisional dan warung pun semakin kehilangan pelanggannya. Hingga akhirnya warung-warung tersebut menjadi kalah bersaing dan perlahan-lahan gulung tikar. Sistem perekonomian yang mengarah pada kapitalisme membuat siapa yang memiliki modal besar menjadi pemenangnya. Usaha-usaha perdagangan ritel modern terus tumbuh menjadi makin besar dan semakin besar. Bahkan mereka berhasil mengekspansi toko-toko mereka ke wilayah lain di Indonesia.

5. Meningkatnya Mobilitas Penduduk
Jika dahulu orang-orang hanya bisa menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidupnya pada pasar-pasar tradisional tingkat kelurahan maupun kecamatan, kini hal tersebut tidak sepenuhnya terjadi. Membahas mengenai mobilitas penduduk, tidak bisa dipisahkan dengan ketersediaan sarana dan prasarana transportasi yang ada, terutama kendaraan. Baik kepemilikan pribadi, punya pemerintah, maupun swasta. Jika dahulu konsumen hanya bisa berjalan kaki ke pasar terdekat, kini sudah tidak lagi. Kepemilikan kendaraan bermotor yang terus meningkat dari tahun ke tahun membuat mobilitas masyarakat Jakarta juga semakin tinggi. Tidak heran jika orang yang tinggal di selatan Jakarta rela pergi ke utara Jakarta hanya untuk sekadar berburu kuliner favoritnya. Begitu pula sebaliknya. Jarak yang jauh bukan lagi menjadi halangan berkunjung ke berbagai pusat perbelanjaan yang menarik. Misalnya saja Grand Indonesia, apabila dilakukan pendataan dapat dipastikan bahwa pengunjung mall berasal dari berbagai penjuru ibukota bahkan luar kota Jakarta. Begitu pula dengan jaringan transportasi umum yang terus membaik, warga semakin merasa tenang walau bepergian hingga malam hari.

Walaupun demikian, permasalahan baru justru muncul. Semua orang punya kendaraan pribadi, semua orang bebas menggunakannya kemana saja dan kapan saja. Akibatnya, kemacetan terjadi dimana-mana. Orang-orang berpikir dua kali jika ingin mencari kebutuhan ke suatu tempat. Masyarakat tidak suka dengan kemacetan. Oleh sebab itu, mereka akan mencari tempat yang dirasa paling bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dan menuju kesana. Di tempat itu semuanya sudah tersedia, mulai dari kebutuhan Ayah, Ibu, hingga anak-anak. Pusat perbelanjaan seperti ini dikenal juga dengan one stop shopping atau one stop entertainment. Masih berkaitan dengan ketersediaan waktu, keluarga-keluarga di perkotaan yang tidak mungkin berekreasi bersama setiap hari, maka akan menghabiskan akhir pekannya di pusat perbelanjaan, untuk berbelanja dan berekreasi. Barang-barang yang dibeli pun dalam jumlah yang besar agar dapat memenuhi kebutuhan hidup selama sebulan, supaya mereka tidak menghabiskan waktu untuk kembali ke mall dalam waktu dekat.


Referensi
Ashworth, G J. (1998). Retailing, Consumption and Capital: Towards the New Retailing Geography. European Planning Studies, 111.
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) http://www.aprindo.net/
Bunnell, Tim; Miller, Michelle Ann; Phelps, Nicholas A; Taylor, John. (2013). Urban Development in a Decentralized Indonesia: Two Success Stories?. Pacific Affairs, suppl. Decentralized Governance and Urban Change in Asia, 86.4. 857-876,710.
Margaretta, Hensi. (2013). Perkembangan Bisnis Ritel. Palembang: STMIK MDP
Pepinsky, Thomas B; Wihardja, Maria M. (2011). Decentralization and Economic Performance in Indonesia. Journal of East Asian Studies, 11.3. 337-371,515-516.
Pacione, Michael. (2009). Urban Retailing. Urban Geography: A Global Perspective. USA : Routledge
Robinson, Jennifer. (2005). Urban geography: world cities, or a world of cities. Progress in Human Geography 29, 6. 757-765.
Soliha, Euis. (2008). Analisis Industri Ritel di Indonesia. Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE), Hal. 128 - 142

Warnaby, Gary; Bennison, David; Davies, Barry J; Hughes, Howard. (2004). People and partnerships: marketing urban retailing. International Journal of Retail & Distribution Management, 545-556.

No comments: