Tugas
Dinamika Spasial Wilayah Urban
Nama : Salman Alfarisi
NPM :
1206216140
Perubahan
Struktur Ritel di DKI Jakarta
Beberapa tahun belakangan ini,
struktur perdagangan ritel di Provinsi DKI Jakarta mengalami perubahan yang
signifikan. Kita ketahui bahwa pola struktur ritel perkotaan dipengaruhi oleh
dua hal. Pertama, pola struktur ritel yang memang disebabkan oleh mekanisme
pasar, sehingga seringkali disebut sebagai proses yang “alami”. Kedua, pola
struktur ritel yang memang dilakukan berdasarkan perencanaan, baik yang
dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta. Perubahan pada pola struktur
perdagangan ritel ini tidak terlepas dari dua faktor pendorong yang paling
mempengaruhi, yaitu, ekonomi dan sosial. Namun, dalam artikel ini, pembahasan
akan lebih ditekankan pada sisi permintaan oleh konsumen. Apa-apa yang
dijelaskan dalam artikel ini sebenarnya didasarkan pada materi yang terletak
dalam buku Urban Geography: A Global
Perspective karya Michael Pacione. Lebih tepatnya pada Bab 12 mengenai
Ritel Perkotaan. Walaupun kasus-kasus yang disampaikan dalam buku tersebut
terjadi di negara-negara barat, tetapi terdapat kesamaan dengan apa yang
dialami oleh DKI Jakarta saat ini. Inilah hal-hal yang menyebabkan terjadinya
perubahan struktur perdagangan ritel di Kota Jakarta.
1. Perubahan
Lokasi Permukiman
Seiring
dengan berjalannya waktu, semakin hari semakin banyak penduduk yang tinggal di
pinggiran wilayah Kota Jakarta. Beberapa tahun silam, Kota Depok hanyalah
sebuah kota kecil dan sepi di pinggiran Jakarta. Begitu pula dengan
wilayah-wilayah lainnya seperti Serpong dan Bintaro, saat itu kedua wilayah
tersebut masih sangat sepi karena masih sedikitnya jumlah penduduk. Namun, lama
kelamaan jumlah penduduk di wilayah-wilayah pinggir kota terus meningkat.
Ditambah lagi dengan semakin banyaknya warga yang awalnya tinggal di tengah
kota memutuskan untuk pindah ke pinggiran kota, selain biaya hidup yang lebih
murah, harga tanah juga masih murah sehingga mereka bisa membeli tanah yang
lebih besar dari rumah yang ada di Jakarta. Harga pajak tanah yang semakin
mencekik juga membuat sebagian masyarakat dengan ekonomi pas-pasan harus segera
terusir dari rumahnya yang ada di tengah kota. Banyak pula masyarakat kaya di
tengah kota yang memutuskan pindah ke pinggiran karena di wilayah suburban
mereka bisa membeli tanah yang lebih luas dengan lingkungan yang lebih asri. Hal
ini terus terjadi, lama kelamaan penduduk yang tinggal di sekitar wilayah kota
pun makin meningkat. Masyarakat membutuhkan pusat-pusat perbelanjaan ritel yang
baru. Satu persatu mulai muncul berbagai pusat perdagangan ritel besar di
wilayah-wilayah pinggiran kota. Jika awalnya usaha-usaha ritel besar tersebut
hanya membuka tokonya di pusat kota, kini mereka sudah berani membukanya di
dekat kantung-kantung permukiman di pinggiran ibukota Jakarta.
2. Perubahan
Sikap Konsumen dan Ekspektasi
Pada masa sekarang ini,
berbelanja bukan lagi sebagai sebuah ritual demi memenuhi kebutuhan hidup
semata. Berbelanja menjadi sebuah hiburan baru yang menyenangkan bagi setiap
orang. Beberapa tahun yang lalu, orang-orang berbelanja di pusat perbelanjaan
tradisional seperti pasar-pasar tradisional. Pasar tersebut sangat identik
dengan suasana yang bau, kotor, becek, penuh dengan permainan harga, dan
sebagainya. Selain itu, apabila konsumen berbelanja ke pasar tradisional,
barang-barang yang mereka butuhkan terdapat di kios-kios yang berbeda. Apabila
ingin membeli sayur harus berbelanja ke kios sayur, begitu juga dengan bumbu masakan,
daging, kue-kue, dan sebagainya. Setiap mengunjungi kios konsumen harus
mengulang lagi proses tawar-menawar dengan pedagang. Walaupun hal ini menarik
bagi sebagian orang, namun sebagian besar mayarakat perkotaan seperti Jakarta
tidak terlalu menyukainya. Masyarakat kota memiliki waktu yang terbatas, mereka
ingin memanfaatkan waktu yang dimiliki dengan sebaik-baiknya. Inilah yang
menjadikan pusat-pusat perbelanjaan modern seperti mall dan supermarket
begitu digandrungi oleh warga Jakarta. Mereka bekerja dengan sangat keras,
mereka ingin suasana berbelanja yang menyenangkan. Jika harus ke pasar
tradisional, mereka akan menghadapi masalah becek, bau, dan kotor. Mereka juga
harus menghabiskan waktu mereka untuk berkunjung ke setiap kios dan melakukan transaksi
tawar-menawar, belum lagi banyaknya ancaman tindak perilaku kriminal dan
sebagainya.
Pusat perbelanjaan modern
dinilai lebih menarik bagi masyarakat kota. Dengan waktu yang sedikit, mereka
ingin kegiatan berbelanja menjadi sebuah hiburan yang menyenangkan. Disambut
dengan arsitektur bangunan yang megah dan unik, lahan parkir yang luas
tersedia, pilihan belanja yang banyak dengan harga yang kompetitif, kenyamanan,
dan lain sebagainya. Di pusat perbelanjaan modern, segala sesuatunya telah
tersusun dengan rapih, sehingga konsumen tidak perlu lagi kebingungan
mencari-cari barang yang dibutuhkannya. Selain itu, dalam sebuah supermarket di pusat perbelanjaan modern
semua barang sudah tersedia. Mereka tidak harus mencarinya lagi ke toko-toko
lain. Harga sudah terpampang jelas sehingga konsumen tidak merasa dirugikan
dengan permainan harga pada proses tawar-menawar. Selain itu, pemasaran produk
pada pusat perbelanjaan modern juga jauh lebih menarik. Mereka seringkali
melakukan berbagai acara dan kegiatan, memberikan potongan harga, hingga
memberikan berbagai hadiah kepada konsumen.
3. Pertumbuhan
Pekerja Perempuan
Sebagian besar dari kita pasti
masih ingat betapa seringnya kita disuruh Ibu untuk membeli sesuatu di warung.
Bisa dibilang setiap hari kita harus membeli berbagai kebutuhan di warung,
entah untuk membeli gula, telur, kecap, dan masih banyak lagi. Bahkan dalam
satu hari bisa saja kita ataupun Ibu kita bolak-balik ke warung lebih dari satu
kali. Pada masa itu kaum Ibu sebagian besar tinggal di rumah menjadi Ibu rumah
tangga. Apabila ingin berbelanja di warung, cenderung tanpa perencanaan panjang
dan lebih pada spontanitas barang apa yang memang sedang dibutuhkan. Hal-hal
semacam ini pada masa seperti sekarang perlahan-lahan mulai berkurang. Sebab
kaum perempuan, termasuk para ibu kini bekerja pada berbagai sektor, bukan lagi
menjadi ibu rumah tangga secara seutuhnya. Pertumbuhan angka perempuan yang
bekerja berpengaruh juga terhadap struktur ritel yang ada di perkotaan,
termasuk di DKI Jakarta. Hal ini diimplikasikan pada perilaku konsumen. Secara
umum terdapat dua perubahan yang signifikan akibat meningkatnya pekerja
perempuan. Pertama, pendapatan keluarga yang meningkat. Kedua, waktu berbelanja
yang dimiliki yang semakin berkurang.
Dahulu, uang belanja isteri
sepenuhnya digantungkan pada gaji suami. Kebutuhan yang semakin bertambah
dengan uang yang jumlahnya cenderung konstan membuat isteri harus memutar otak
dalam berbelanja kebutuhan sehari-hari. Para isteri juga berusaha menahan
hasrat untuk berbelanja barang-barang yang sifatnya bukan barang pokok seperti
kosmetik, produk fesyen, jajanan, dan sebagainya. Isteri menempatkan kebutuhan
keluarga sebagai sebuah prioritas dan mengorbankan keinginan pribadinya. Namun,
kini hal tersebut mulai berubah. Para isteri juga bebas bekerja dan memiliki
jenjang karirnya sendiri. Bahkan tidak jarang gaji yang dimiliki isteri lebih
tinggi daripada gaji yang diberikan suami. Alhasil, pemasukan keluarga jadi
meningkat dua kali lipat. Dengan uang yang semakin banyak, daya beli sebuah
keluarga semakin meningkat pula. Kini para isteri bisa memanjakan dirinya
dengan uang yang ia miliki. Dengan prinsip “uangmu adalah uangku, uangku adalah
uangku” para isteri memiliki keleluasaan yang lebih dalam membelanjakan uang.
Ia bisa bebas membeli kosmetik, pakaian, tas, sepatu, dan masih banyak lagi.
Mereka juga bisa menggunakan uangnya untuk lebih sering berekreasi dengan
keluarga atau sekadar makan di restoran.
Uang yang semakin banyak berarti
bekerja dengan lebih keras lagi. Ini pula yang dihadapi oleh perempuan Jakarta
saat ini. Mereka bekerja dari pagi, dan baru pulang ketika hari sudah gelap.
Lihat saja bus-bus Transjakarta ataupun Commuterline. Walaupun adzan subuh baru
saja usai, perempuan-perempuan pekerja ini sudah duduk manis ataupun
bergelantungan di berbagai sarana transportasi. Begitu pula pada sore hari.
Akibatnya, sampai di rumah perempuan sudah terlalu lelah dan lebih memilih
untuk beristirahat. Lalu, kapan mereka belanja? Sebagian dari mereka berbelanja
ketika pulang bekerja. Tidak heran jika kita seringkali melihat para perempuan
pekerja menenteng kantung plastik dari berbagai pusat perbelanjaan saat di bus
kota maupun kereta. Sebagiannya lagi lebih memilih untuk berbelanja secara
mingguan maupun bulanan pada hari minggu bersama suami dan anak-anak mereka.
Itu pula yang menjadi salah satu faktor mengapa pusat perbelanjaan modern lebih
diminati. Sebab para konsumen bukan hanya ingin berbelanja, namun juga ingin
berekreasi bersama keluarga.
4. Berubahnya
Tingkat Daya Beli
Masih
berhubungan dengan poin-poin yang dijelaskan sebelumnya. Peningkatan usaha
perdagangan ritel dengan skala besar terus berlangsung. Hal ini tidak terlepas
dari kenyamanan dan banyaknya keuntungan yang didapatkan konsumen jika
berbelanja pada usaha-usaha ritel modern. Selain itu, bukan rahasia umum lagi
jika harga-harga di usaha-usaha perdagangan ritel modern seringkali lebih murah
daripada harga di usaha ritel tradisional seperti pasar tradisional dan warung.
Harga-harga yang lebih murah tersebut tidak terlepas dari sistem market share yang dilakukan oleh pusat
ritel modern. Sebut saja dua raksasa penguasa perdagangan ritel modern di
Indonesia, Alfamart dan Indomaret. Dengan toko yang jumlahnya ribuan tersebar
di seluruh pelosok negara, kedua minimarket ini melakukan kontrak kerjasama yang
besar dengan berbagai perusahaan produsen kebutuhan sehari-hari seperti makanan
dan minuman. Hasilnya, modal yang dikeluarkan pun dapat ditekan karena ia bisa
membeli barang dagangan dengan harga yang jauh lebih murah dari produsen.
Dengan perputaran uang yang juga besar dan cepat, menjual barang dagangan
mereka dengan harga yang sedikit murah pun tidak jadi masalah. Masyarakat kota
semakin mengidolakan usaha perdagangan ritel modern ini. Pasar tradisional dan
warung pun semakin kehilangan pelanggannya. Hingga akhirnya warung-warung
tersebut menjadi kalah bersaing dan perlahan-lahan gulung tikar. Sistem
perekonomian yang mengarah pada kapitalisme membuat siapa yang memiliki modal
besar menjadi pemenangnya. Usaha-usaha perdagangan ritel modern terus tumbuh
menjadi makin besar dan semakin besar. Bahkan mereka berhasil mengekspansi
toko-toko mereka ke wilayah lain di Indonesia.
5. Meningkatnya
Mobilitas Penduduk
Jika dahulu orang-orang hanya
bisa menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidupnya pada pasar-pasar tradisional
tingkat kelurahan maupun kecamatan, kini hal tersebut tidak sepenuhnya terjadi.
Membahas mengenai mobilitas penduduk, tidak bisa dipisahkan dengan ketersediaan
sarana dan prasarana transportasi yang ada, terutama kendaraan. Baik
kepemilikan pribadi, punya pemerintah, maupun swasta. Jika dahulu konsumen
hanya bisa berjalan kaki ke pasar terdekat, kini sudah tidak lagi. Kepemilikan
kendaraan bermotor yang terus meningkat dari tahun ke tahun membuat mobilitas
masyarakat Jakarta juga semakin tinggi. Tidak heran jika orang yang tinggal di
selatan Jakarta rela pergi ke utara Jakarta hanya untuk sekadar berburu kuliner
favoritnya. Begitu pula sebaliknya. Jarak yang jauh bukan lagi menjadi halangan
berkunjung ke berbagai pusat perbelanjaan yang menarik. Misalnya saja Grand
Indonesia, apabila dilakukan pendataan dapat dipastikan bahwa pengunjung mall
berasal dari berbagai penjuru ibukota bahkan luar kota Jakarta. Begitu pula
dengan jaringan transportasi umum yang terus membaik, warga semakin merasa
tenang walau bepergian hingga malam hari.
Walaupun demikian, permasalahan
baru justru muncul. Semua orang punya kendaraan pribadi, semua orang bebas
menggunakannya kemana saja dan kapan saja. Akibatnya, kemacetan terjadi
dimana-mana. Orang-orang berpikir dua kali jika ingin mencari kebutuhan ke
suatu tempat. Masyarakat tidak suka dengan kemacetan. Oleh sebab itu, mereka
akan mencari tempat yang dirasa paling bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dan
menuju kesana. Di tempat itu semuanya sudah tersedia, mulai dari kebutuhan
Ayah, Ibu, hingga anak-anak. Pusat perbelanjaan seperti ini dikenal juga dengan
one stop shopping atau one stop entertainment. Masih berkaitan
dengan ketersediaan waktu, keluarga-keluarga di perkotaan yang tidak mungkin
berekreasi bersama setiap hari, maka akan menghabiskan akhir pekannya di pusat
perbelanjaan, untuk berbelanja dan berekreasi. Barang-barang yang dibeli pun
dalam jumlah yang besar agar dapat memenuhi kebutuhan hidup selama sebulan,
supaya mereka tidak menghabiskan waktu untuk kembali ke mall dalam waktu dekat.
Referensi
Ashworth,
G J. (1998). Retailing, Consumption and Capital: Towards the New Retailing
Geography. European Planning Studies,
111.
Asosiasi
Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) http://www.aprindo.net/
Bunnell,
Tim; Miller, Michelle Ann; Phelps, Nicholas A; Taylor, John. (2013). Urban
Development in a Decentralized Indonesia: Two Success Stories?. Pacific Affairs, suppl. Decentralized
Governance and Urban Change in Asia, 86.4. 857-876,710.
Margaretta,
Hensi. (2013). Perkembangan Bisnis Ritel. Palembang: STMIK MDP
Pepinsky,
Thomas B; Wihardja, Maria M. (2011). Decentralization and Economic Performance
in Indonesia. Journal of East Asian
Studies, 11.3. 337-371,515-516.
Pacione,
Michael. (2009). Urban Retailing.
Urban Geography: A Global Perspective. USA : Routledge
Robinson,
Jennifer. (2005). Urban geography: world cities, or a world of cities. Progress in Human Geography 29, 6.
757-765.
Soliha,
Euis. (2008). Analisis Industri Ritel di Indonesia. Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE), Hal. 128 - 142
Warnaby, Gary; Bennison, David; Davies, Barry J;
Hughes, Howard. (2004). People and partnerships: marketing urban retailing. International Journal of Retail & Distribution
Management, 545-556.
No comments:
Post a Comment