Pada liburan
semester kali ini saya menyempatkan diri untuk berkunjung ke salah satu objek
wisata sejarah yang ada di Sumatera Barat, lebih tepatnya Kota Sawahlunto.
Kunjungan saya kali ini bukan tanpa alasan, melainkan karena kuliah yang
disampaikan oleh Ibu Wid dalam kelas Dinamika Spasial Wilayah Urban mengenai
Kota Tambang yang mulai meredup keeksisannya. Namun, beberapa Kota Tambang di
dunia saat ini terbukti berhasil mengubah spesialisasi wilayahnya menjadi Kota
Pariwisata. Salah satunya adalah Kota Sawahlunto ini. Berikut liputannya.
Berbicara
mengenai Kota Sawahlunto tidak akan pernah terlepas dari image-nya sebagai sebuah kota tambang batubara. Sejarah masa lalu
itulah yang membuat kota ini dipenuhi oleh kisah-kisah mengenai kehidupan
manusia tambang maupun berbagai infrastruktur tambang berupa bangunan
peninggalan Belanda. Sekilas melihat kota ini mengingatkan saya pada Kota
Johnstown di Pennsylvania yang pernah menjadi bahan diskusi pada kelas Geografi
Kebudayaan. Ya, kedua kota ini sama-sama terletak di sebuah lembah yang
dikelilingi oleh bukit-bukit. Apalagi keduanya mengalami perubahan kebudayaan
yang mirip pula, sama-sama menjadi kota pariwisata setelah sebelumnya terkenal
sebagai kota industri besi baja dan kota tambang batubara.
Sebenarnya ada
beberapa objek wisata yang bisa kita kunjungi di Kota Sawahlunto ini. Misalnya,
Lubang Mbah Soero, Kereta Lokomotif Mak Itam, Museum Gudang Ransum, Kantor PT.
Bukit Asam, dan masih banyak lagi. Karena keterbatasan waktu, saya memilih
untuk mengeksplorasi secara lebih mendalam objek wisata Lubang Mbah Soero.
Mungkin
teman-teman bertanya-tanya, bukankah Kota Sawahlunto ini ada di Sumatera Barat.
Lalu, kenapa namanya Lubang Mbah Soero? Ya, pertanyaan yang menarik. Mbah Soero
sendiri merupakan seorang mandor tambang batubara yang dikenal sangat dekat
dengan orang rantai (sebutan bagi pekerja tambang yang kaki dan tangannya
diikat rantai) dan masyarakat. Beliau bukan orang Minangkabau, melainkan
berasal dari Jawa. Lubang Mbah Soero ini letaknya persis di bawah perkampungan
masyarakat. Walaupun aslinya memiliki panjang sejauh 1,5 kilometer, saat ini
demi keselamatan pengunjung hanya dibuka beberapa meter saja.
Jika ingin
melakukan kunjungan ke lubang bekas tambang ini, hal pertama yang harus kita
lakukan ialah membeli tiket masuk seharga Rp 8000 per orang di Gedung Galeri
Tambang Batubara Kota Sawahlunto. Ketika saya berkunjung ke sini, suasananya
cukup sepi. Bahkan bisa dibilang hanya beberapa pengunjung saja. Padahal bangunan
Galeri Tambang Batubara ini kondisinya sangat baik dan terawat, dilengkapi
dengan berbagai koleksi peninggalan kegiatan pertambangan serta informasi
lainnya mengenai pengolahan batubara. Selain itu, dilengkapi pula oleh sebuah
televisi layar datar yang memutar film dokumenter mengenai Lubang Mbah Soero
dan Kota Sawahlunto. Sebelum masuk ke lubang tambang, pengunjung diharuskan
memakai sepatu dan helm yang telah disediakan oleh pengelola.
Berbeda dengan
Lubang Jepang yang ada di Kota Bukittinggi, Lubang Mbah Soero yang dibuka pada
tahun 1891 ini terlihat jauh lebih nyata. Kondisinya lebih sempit dengan
dinding lubang yang sebagian besar masih dibiarkan seperti aslinya sehingga
kita bisa melihat batubara yang ada menempel di dinding. Di beberapa sudut
kucuran air masih terlihat mengalir dan menyebabkan genangan di beberapa titik.
Air tersebut berasal dari rembesan sungai Lunto yang ada diatas lubang ini.
Walaupun demikian, lubang ini aman untuk dikunjungi oleh seluruh anggota
keluarga. Selain sudah dilengkapi saluran oksigen, beberapa sudut juga
dipasangi kamera CCTV sehingga setiap kegiatan yang dilakukan pengunjung dapat
dipantau oleh pengelola. Setelah puas melihat-lihat kondisi lubang, kita akan
diajak untuk kembali ke atas melalui tangga yang berbeda dengan tangga turun.
Ternyata tangga keluar berada di seberang bangunan galeri, terletak persis di
samping rumah warga. Setelah kembali berganti alas kaki dan mengembalikan helm,
kita dapat sejenak melihat-lihat dan membaca informasi mengenai sejarah pertambangan
batubara di Kota Sawahlunto.
Salman Alfarisi, 2015
Tulisan ini juga dimuat di Majalah Lintang 0 HMDG UI 2015
No comments:
Post a Comment