Tuesday, March 3, 2015

Belajar Sejarah ke Lubang Mbah Soero

Pada liburan semester kali ini saya menyempatkan diri untuk berkunjung ke salah satu objek wisata sejarah yang ada di Sumatera Barat, lebih tepatnya Kota Sawahlunto. Kunjungan saya kali ini bukan tanpa alasan, melainkan karena kuliah yang disampaikan oleh Ibu Wid dalam kelas Dinamika Spasial Wilayah Urban mengenai Kota Tambang yang mulai meredup keeksisannya. Namun, beberapa Kota Tambang di dunia saat ini terbukti berhasil mengubah spesialisasi wilayahnya menjadi Kota Pariwisata. Salah satunya adalah Kota Sawahlunto ini. Berikut liputannya.

Berbicara mengenai Kota Sawahlunto tidak akan pernah terlepas dari image-nya sebagai sebuah kota tambang batubara. Sejarah masa lalu itulah yang membuat kota ini dipenuhi oleh kisah-kisah mengenai kehidupan manusia tambang maupun berbagai infrastruktur tambang berupa bangunan peninggalan Belanda. Sekilas melihat kota ini mengingatkan saya pada Kota Johnstown di Pennsylvania yang pernah menjadi bahan diskusi pada kelas Geografi Kebudayaan. Ya, kedua kota ini sama-sama terletak di sebuah lembah yang dikelilingi oleh bukit-bukit. Apalagi keduanya mengalami perubahan kebudayaan yang mirip pula, sama-sama menjadi kota pariwisata setelah sebelumnya terkenal sebagai kota industri besi baja dan kota tambang batubara.
Sebenarnya ada beberapa objek wisata yang bisa kita kunjungi di Kota Sawahlunto ini. Misalnya, Lubang Mbah Soero, Kereta Lokomotif Mak Itam, Museum Gudang Ransum, Kantor PT. Bukit Asam, dan masih banyak lagi. Karena keterbatasan waktu, saya memilih untuk mengeksplorasi secara lebih mendalam objek wisata Lubang Mbah Soero.
Mungkin teman-teman bertanya-tanya, bukankah Kota Sawahlunto ini ada di Sumatera Barat. Lalu, kenapa namanya Lubang Mbah Soero? Ya, pertanyaan yang menarik. Mbah Soero sendiri merupakan seorang mandor tambang batubara yang dikenal sangat dekat dengan orang rantai (sebutan bagi pekerja tambang yang kaki dan tangannya diikat rantai) dan masyarakat. Beliau bukan orang Minangkabau, melainkan berasal dari Jawa. Lubang Mbah Soero ini letaknya persis di bawah perkampungan masyarakat. Walaupun aslinya memiliki panjang sejauh 1,5 kilometer, saat ini demi keselamatan pengunjung hanya dibuka beberapa meter saja.
Jika ingin melakukan kunjungan ke lubang bekas tambang ini, hal pertama yang harus kita lakukan ialah membeli tiket masuk seharga Rp 8000 per orang di Gedung Galeri Tambang Batubara Kota Sawahlunto. Ketika saya berkunjung ke sini, suasananya cukup sepi. Bahkan bisa dibilang hanya beberapa pengunjung saja. Padahal bangunan Galeri Tambang Batubara ini kondisinya sangat baik dan terawat, dilengkapi dengan berbagai koleksi peninggalan kegiatan pertambangan serta informasi lainnya mengenai pengolahan batubara. Selain itu, dilengkapi pula oleh sebuah televisi layar datar yang memutar film dokumenter mengenai Lubang Mbah Soero dan Kota Sawahlunto. Sebelum masuk ke lubang tambang, pengunjung diharuskan memakai sepatu dan helm yang telah disediakan oleh pengelola.
Berbeda dengan Lubang Jepang yang ada di Kota Bukittinggi, Lubang Mbah Soero yang dibuka pada tahun 1891 ini terlihat jauh lebih nyata. Kondisinya lebih sempit dengan dinding lubang yang sebagian besar masih dibiarkan seperti aslinya sehingga kita bisa melihat batubara yang ada menempel di dinding. Di beberapa sudut kucuran air masih terlihat mengalir dan menyebabkan genangan di beberapa titik. Air tersebut berasal dari rembesan sungai Lunto yang ada diatas lubang ini. Walaupun demikian, lubang ini aman untuk dikunjungi oleh seluruh anggota keluarga. Selain sudah dilengkapi saluran oksigen, beberapa sudut juga dipasangi kamera CCTV sehingga setiap kegiatan yang dilakukan pengunjung dapat dipantau oleh pengelola. Setelah puas melihat-lihat kondisi lubang, kita akan diajak untuk kembali ke atas melalui tangga yang berbeda dengan tangga turun. Ternyata tangga keluar berada di seberang bangunan galeri, terletak persis di samping rumah warga. Setelah kembali berganti alas kaki dan mengembalikan helm, kita dapat sejenak melihat-lihat dan membaca informasi mengenai sejarah pertambangan batubara di Kota Sawahlunto.








Salman Alfarisi, 2015

Tulisan ini juga dimuat di Majalah Lintang 0 HMDG UI 2015

No comments: