Friday, January 23, 2015

Nostalgia di Kampung Baru, Pariaman

Pernah terbayangkan tidak punya rumah sederhana dengan halaman depan dan belakang yang sangat luas. Lalu ada beberapa pohon kelapa, dimana diantara kedua pohon kelapa tersebut dipasangi hammock (semacam ayunan yang terbuat dari tali atau jaring, bisa dipakai untuk bersantai sambil tiduran) menikmati sore. Ditambah lagi didepan rumah tersebut terhampar pasir pantai putih yang bisa anda mainkan sesuka hati. Berbagai pohon dan tanaman lain pun juga tumbuh terawat dengan rapi. Mulai dari buah jambu, rambutan, hingga tebu, jahe, cabai, kunyit semuanya ada. Bahkan juga dilengkapi dengan sebuah kandang ayam sendiri yang ayamnya bisa dipotong kapan saja ketika ingin dimakan. Ya, percaya atau tidak saya pernah mengalaminya. Masa-masa itu memang sangat indah. Kehidupan yang sederhana namun bersahaja. Masa ketika Ayah saya sudah pulang dari kantor pada siang hari, lalu ia bisa dengan bebas bercocok tanam. Masa ketika ibu saya memiliki banyak waktu luang, bisa menyelesaikan semua pekerjaan rumah tanpa bantuan pembantu. Kami sekeluarga tidak tinggal di desa, kami tinggal di sebuah kota. Kota Pariaman namanya. Ya, ada di provinsi Sumatera Barat. Sebuah kota kecil yang alhamdulillah ternyata memberikan kesan yang besar bagi kehidupan saya sekeluarga.
Rumah kami dekat dengan pantai. Jadi, jangan heran kalau setiap sore saya dan orang tua bisa dengan nikmatnya menikmati suasana pantai yang teduh, gratis. Begitu pula pada pagi hari, ibu saya langsung datang ke pantai itu untuk membeli berbagai hasil laut langsung dari nelayan. Saat itu saya masih TK, dan saya seringkali pulang dan pergi ke sekolah sendirian, padahal saya harus menyebrang jalan raya lho. Jalanan di kota ini memang tidak mengenal macet.
Kampung Baru, itulah lebih tepatnya daerah ini disebut. Sebuah komplek perumahan dengan kavling-kavling yang besar, dimana sebagian rumahnya tidak menggunakan pagar. Sebagian besar rakyatnya adalah masyarakat berpendidikan dan sejahtera. Jangan heran kalau setiap idul fitri dan idul adha masyarakat kampung baru justru kebingungan mencari fakir miskin untuk diberikan uang zakat dan daging qurban. Setiap kelebihan rezeki yang ada dari kaum berpunya diantarkan langsung ke rumah fakir miskin, tidak seperti disini, orang miskin harus antre berjam-jam untuk dapat bantuan.
Tetangga samping kiri rumah saya seorang pasangan bapak dan ibu guru yang anak-anaknya semua sekolah di perantauan, salah satunya ITB. Tetangga depan rumah saya juga seorang guru SLB. Tetangga samping kanan seorang kakek dan nenek yang hanya tinggal berdua, semua anaknya tinggal di Jakarta, salah satunya bekerja di Pertamina. Disisi lain ada tetangga yang salah satu anaknya sedang bekerja di Jepang. Tetangga yang lain sebagian besar pekerja kantoran, baik PNS maupun swasta. Hanya ada sedikit pemuda disini, mayoritas penghuninya adalah kakek-kakek dan nenek-nenek yang selalu solat berjamaah ke mesjid ketika azan berkumandang. Wajar saja kalau ibu saya sempat bosan, soalnya temennya nenek-nenek semua hehe.
Ketika saya berkunjung kesana saat liburan semester ini, ibu saya bercerita banyak hal. Ibu saya bilang disini walaupun kota sepi dan kecil tapi masyarakatnya kaya-kaya lo bang. Kata ibu saya, salah satu saudara saya yang suami istri bekerja sebagai guru, diberangkatkan haji oleh tetangga-tetangganya dengan patungan. Luar biasa. Ibu saya juga cerita, disini kalau sedang idul adha yang nonton acara pemotongan sebagian besar adalah pequrban itu sendiri, sedangkan yang penerimanya (fakir, miskin, janda, dll) cuma sedikit dan itupun langsung diantar kerumah oleh panitia.
Ternyata hal itu tidak mengada-ada. Waktu itu saya sempatkan untuk solat ashar berjamaah di mesjid raya kampungbaru. Sempat terjadi kejadian tidak terduga sebelumnya haha. Tau tidak, saya bertemu dengan salah satu junior saya di kampus padahal kami sama sekali tidak janjian loh. Satu-satunya mesjid di kampungbaru ini memang lumayan besar. Saya sempat solat jumat disini, lalu seperti biasa ada pengumuman tentang kas mesjid. Ayo tebak berapa jumlah kas mesjidnya :) 10 juta? 20 juta? 50 juta? BUKAN! tapi Rp 120 JUTA!!! gila! shock saya, bagaimana mungkin sebuah mesjid di sebuah kota kecil punya uang sebanyak itu. Dan kerennya lagi ternyata semua kebutuhan masyarakat kampung baru juga tercover sama uang ini. Contohnya, kalau ada yang meninggal langsung dapat uang fardu kifayah. Selain itu, di masjid ini juga dikasih tau siapa saja keluarga yang sedang mengadakan hajatan, dan jamaah semuanya diundang. Pas solat jumat itu, parkiran mesjid dipenuhi oleh mobil-mobil yang lumayan kece. Ya, mulai dari innova sampai fortuner semua ada. Banyak yang plat merah juga tapi hehe. Oh iya, sepertinya kas mesjid ini bisa besar karena banyak warga yang infaq dan sedekah serta menunaikan nadzar. Selain itu, hajatan disini bukan cuma kawinan ato renovasi rumah. Tapi lebih banyak yang pas diumumin bilangnya, "Selanjutnya jamaah diundang ke acara syukuran Bapak X karena kesuksesan anaknya". Gitu-gitu deh. Misalnya anaknya wisuda atau apa gitu. Mirip-mirip Ayah saya haha, pas saya keterima UI Ayah saya motong kambing trus bagiin besek ke tetangga wkwk.
Itu dia sekilas cerita tentang Kampung Baru, Kota Pariaman. Kota kecil tempat saya menghabiskan masa kecil hingga usia 4 tahun. Lalu, kenapa Ayah saya memutuskan untuk pindah ke Jakarta? Alasannya cuma satu, dia mau semua anak-anaknya menyelesaikan studi di Jakarta dan masuk UI hahaha. Kalau saya dan adik-adik saya sudah lulus semua, katanya beliau mau tinggal di kampung lagi saja. xD

No comments: