Monday, May 17, 2021

Pentingnya Pengkinian Cita-Cita

Sebagai orang yang realistis, salah satu hambatan terbesar saya dalam merangkai cita-cita ialah selalu bermain di zona aman. Saya cenderung menuliskan hal-hal yang paling mungkin dicapai dan seringkali tidak berani menuliskan hal yang out of the box. Bukan, bukan berarti cita-cita saya rendah. Namun, saya memilih yang paling mudah digapai. Misalnya, dalam lima tahun kedepan saya bercita-cita memiliki rumah. Namun, saya tidak berani menuliskan standar rumah yang tinggi seperti rumah yang dikembangkan oleh Agung Podomoro atau Agung Sedayu. Bagi saya, rumah kecil di pinggiran kota sudah cukup. Begitu pula dengan cita-cita kuliah S2. Saya tidak berani menuliskan syarat kampus ivy league dengan jalur full scholarship. Alhasil, saya sudah cukup puas dengan kuliah master di dalam negeri.

Lalu, apakah hal ini sesuatu yang buruk? Sebenarnya tidak juga. Saya sangat bersyukur dapat mewujudkan satu demi satu mimpi meski secara perlahan. Namun, keinginan untuk terus menantang diri sendiri agar jadi pribadi yang lebih baik muncul begitu saja. Salah satu penyebabnya, saya teringat pada selembar kertas yang saya tulisi dengan harapan dan cita-cita dalam beberapa periode kedepan, seperti tiga tahun lagi, lima tahun lagi, sepuluh tahun, dan seterusnya. Kertas tersebut saya tulis bukan sepenuhnya atas kesadaran diri sendiri, namun diminta oleh salah seorang trainer yang memberi materi di kantor saat saya baru mulai bekerja.

Saya ingat sekali dengan beberapa hal yang saya tulis, diantaranya, mendapat promosi jabatan dari kantor, memiliki rumah sendiri (meski kredit), dan melanjutkan studi ke jenjang S2. Ajaibnya, sebelum lima tahun bekerja mimpi-mimpi tersebut telah tercapai. Meski ya itu tadi, dengan standar yang minim. Makannya saya jadi overthinking, kenapa sih dulu tidak saya tulis saja cita-cita masuk Forbes Under 30, beli rumah di Menteng, atau kuliah S2 di Harvard sekalian. Ya, namanya juga manusia, sudah jadi sifatnya untuk tidak pernah puas. Tapi tenang saja, meski begitu saya selalu bersyukur atas pencapaian saat ini.

By the way, saking tidak percaya diri dan malunya saya saat menuliskan cita-cita tersebut, sampai-sampai kertas itu akhirnya saya buang. Setelah itu, saya baru kepikiran dan menyesal kenapa dibuang, padahal bisa jadi kertas bersejarah kelak ketika semuanya sudah terwujud. Kertas itu pula yang akhirnya menginspirasi saya untuk menulis lagi di blog yang sudah tidak terurus ini.

Berhubung sebagian cita-cita sudah tercapai, dan sebagiannya lagi ada juga yang belum tercapai, saya rasa penting juga untuk kita selalu melakukan update atas cita-cita yang kita miliki. Ibarat know your customer-nya perbankan, kita juga semakin bisa mengukur kemampuan dan profil diri kita. Jika nomor telepon dan alamat nasabah yang berubah harus selalu dikinikan, begitu pula cita-cita dan harapan.

Adanya cita-cita dan harapan dapat memacu semangat kita, apalagi jika satu per satu mulai tercapai, rasanya seperti berhasil checkout barang-barang yang sudah masuk wishlist Tokopedia sejak setahun lalu. Ada bahagia yang tidak bisa dituliskan dengan kata-kata. Meski begitu, kadang tidak semua hal bisa berjalan sesuai rencana. Inilah kenapa cita-cita tersebut juga harus fleksibel sesuai kondisi kita. Baiklah, kalau begitu mari kita tulis kembali cita-cita dan berdoa agar dapat dimudahkan dalam mewujudkannya, aamiin.

No comments: